Topsumutpress.com – Pemberian Grasi atau pengurangan hukuman oleh Presiden Jokowi kepada I Nyoman Susrama menimbulkan kekecewaan, khususnya bagi kalangan jurnalis.
Baca juga : Otak Pelaku Dapat Grasi dari Jokowi, ini Kronologi Pembunuhan Wartawan di Bali
Grasi, yang diberikan kepada otak sekaligus pelaku pembunuhan berencana terhadap AA Gde Bagus Narendra Prabangsa seorang wartawan harian Radar Bali, dipertanyakan.
Bahkan kebijakan tersebut dianggap sebagai tamparan kepada pers Indonesia. Seperti dituangkan seorang pemilik akun Facebook Syofiardi Bachyuljb, yang dikenal sebagai jurnalis senior, Selasa (22/1/2019).
Dalam postingannya yang diberi judul “JOKOWI MENAMPAR PERS INDONESIA”, Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia tersebut mengaku sangat kecewa mendengar kabar tersebut.
“Saya sangat kecewa mendengar kabar Presiden Joko Widodo memberikan grasi keringanan tahanan kepada I Nyoman Susrama, dari hukuman penjara seumur hidup menjadi penjara 20 tahun. Apa maksudnya?” tulisnya.
Dijelaskannya, Susrama divonis hukuman seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar pada 15 Februari 2010 (9 tahun lalu) karena terbukti sebagai otak sekaligus pelaku pembunuhan berencana terhadap wartawan harian Radar Bali (Grup Jawa Pos) itu, pada 2009.
“Susrama (bersama 8 rekannya) divonis bersalah karena melanggar Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” sambung penulis jurnalistravel.com itu di akunnya.
Padahal, menurut Syofiardi, hukuman berat terhadap Susrama sebenarnya angin segar bagi perjuangan kebebasan pers di Indonesia, sebab cukup banyak tindak kekerasan kepada wartawan dan media di Indonesia hingga wartawan kehilangan nyawa.
“Dari banyak kasus, kasus ini termasuk ditangani dengan baik secara hukum dan pelakunya dihukum dengan berat. Satu hal yang perlu dicatatan: kasus ini tidak hanya kriminal murni, tetapi juga terkait dengan kebebasan pers dan pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
Terkait dengan kebebasan pers karena menyangkut keselamatan nyawa wartawan dalam menyampaikan kebenaran, dan juga terkait dengan dengan pemberantasan korupsi, karena Prabangsa kehilangan nyawanya demi memberitakan korupsi proyek pembangunan sekolah di Bali.
“Saya masih memiliki sedikit dugaan positif kepada Jokowi. Mungkin Sang Presiden tidak teliti melihat kasus per kasus karena dikabarkan ada 115 orang narapidana yang diberikan grasi. Tetapi jika dugaan saya ini keliru, Jokowi berarti sengaja menampar pers Indonesia,” tulisnya.
Dalam postingannya yang sudah dibagikan sebanyak 42 kali pada jam 19.00 wib itu, Syofiardi menyertakan Siaran Pers AJI Denpasar yang meminta grasi itu DIANULIR.
“(Siaran pers)
AJI Denpasar Sesalkan Pemberian Grasi Terhadap Otak Pembunuh Wartawan
Pemberian grasi oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) terhadap I Nyoman Susrama yang menjadi otak pembunuh wartawan Radar Bali, Jawa Pos Grup, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa adalah langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers.
Pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali tahun 2010 saat itu menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Ini karena sebelumnya tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.
Karena itu, vonis seumur hidup bagi Susrama di Pengadlan Negeri Denpasar saat itu menjadi angin segar terhadap kemerdekaan pers dan penuntasan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang masih banyak belum diungkap.
AJI Denpasar bersama sejumlah advokat, dan aktivis yang dari awal ikut mengawal Polda Bali tahu benar bagaimana susahnya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi pada Februari 2009 silam. Perlu waktu berbulan-bulan dan energi yang berlebih hingga kasusnya dapat diungkap oleh Polda Bali.
Pemberian grasi dari seumur hidup menjadi 20 tahun ini bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers, karena setelah 20 tahun akan menerima remisi dan bukan tidak mungkin nantinya akan menerima pembebasan bersyarat. Karena itu AJI Denpasar sangat menyayangkan dan menyesalkan pemberian grasi tersebut.
Meski presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi sesuai diatur UU. No. 22 Tahun 2002 dan Perubahanya UU. No. 5 Tahun 2010 namun seharusnya ada catatan maupun koreksi baik dari Kemenkumham RI dan tim ahli hukum presiden sebelum grasi itu diberikan.
Untuk itu AJI Denpasar menuntut agar pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir,” tulis Syofiardi yang tak lupa menyematkan nama Ketua AJI Denpasar, Nandhang R.Astika dan Kepala Divisi Advokasi AJI Denpasar, Miftachul Huda. (*/tsp)