Rotasiasia.com – Lembah Baliem salah satu ikon wisata di Papua yang terletak di Wamena. Tempat ini ditemukan pertama kali oleh pilot asal Amerika Serikat pada tahun 1944.
Pilot tersebut menyebut daerah ini dengan sebutan Shangri-la. Nama ini digunakan sebagai bentuk kiasan surga di Bumi dalam cerita dongeng.
Sejak pertama kali di temukan, kawasan di Lembah Baliem ini sudah dihuni oleh Suku Dani. Suku Asli Papua yang memiliki rumah adat bernama Honai.
Seiring berkembangnya ajaran islam di Indonesia, beberapa masyarakat Suku Dani sudah memeluk agama islam. Tepatnya mereka yang tinggal di Distrik Welesi.
Muslim di Distrik Welesi adalah yang terbesar di Papua. Walaupun, berbeda agama kerukunan di antara mereka masih tetap terjaga.
Tradisi adat seperti bakar batu masih tetap berlangsung. Perbedaannya, biasanya menggunakan daging babi. Mereka menggantinya dengan daging ayam.
Tradisi Bakar Batu adalah perayaan yang digelar oleh masyarakat Suku Dani saat kelahiran, kematian, syukuran, pernikahan atau kemenangan setelah perang.
Tradisi ini sebenarnya hanya mengolah makanan diatas batu. Hanya saja, untuk bisa menciptakan bara api dan membakarnya membutuhkan banyak orang.
Mengenal Suku Dani, Penghuni Lembah Baliem
Suku Asli Papua ini sebagian besar mata pencahariannya adalah Petani. Mereka bisa menggunakan peralatan apa pun seperti kapak batu, tombak kayu, pisau yang terbuat dari tulang binatang, dan tongkat galian.
Ditemukan oleh peneliti asal Amerika Serikat bernama, Richard Archold pada tahun 1935.
Masyarakat pedalaman sampai saat ini masih menggunakan koteka, pakaian adat Papua dan tinggal di rumah Honai.
Hal menarik yang membuat Anda wajib mengunjungi mereka adalah melihat Mummy yang usianya dipercaya sudah mencapai 300 tahun. Disimpan di dalam rumah lelaki atau Pilamo.
Mumi tersebut adalah panglima perang yang bernama Wim Motok Mebel. Ada kepercayaan warga sekitar bila mummy ini membuat warganya sejahtera. Khususnya mereka yang tinggal di Lembah Baliem, di masa akan datang.
Selain itu, ada tradisi yang cukup unik dan masih dilakukan sampai saat ini.
Tradisi potong jari adalah tradisi yang dilakukan sebagai perwujudan dari rasa sakit karena ditinggal oleh anggota keluarga.
Bagi Mereka, keluarga adalah jari yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Ada juga mandi lumpur yang menyiratkan bahwa semua manusia akan kembali ke tanah.
Rumah Adat Papua
Seperti Suku lainnya di Indonesia, Suku Dani juga punya rumah adat yang berbentuk kerucut. Namanya adalah Honai, yang memiliki ukuran lebih kecil.
Beratapkan jerami yang memberikan suasana yang sejuk saat masuk ke dalam. Tingginya hanya 1 meter saja dan hanya mempunyai satu perapian di tengah.
Honai ini digunakan untuk penduduk laki-laki, sementara bagi perempuan bernama Ebe’ai yang bentuknya persegi.
Rumah adat ini multi fungsi, bisa digunakan untuk menyimpan bahan makanan hasil panen berupa ubi. Bisa juga untuk pengasapan mumy, seperi yang ditemukan di Desa Alkima, tempat terkenal di Lembah Baliem.
Ada beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Dani. Honai tidak boleh ada wanita yang masuk. Walaupun, mereka sudah menikah.
Cukup anak lelakinya saja. Pantangan ini juga berlaku di rumah Ebe’ai. Menariknya, budaya ini masih terus berjalan sampai saat ini.
Dalam satu rumah, hanya bisa dihuni 5 sampai 10 orang. Pada saat membangun hanya boleh lelaki saja. Pintu rumah wajib menghadap ke matahari terbit dan tenggelam.
Merupakan simbol sebagai umat manusia bekerja tanpa kenal lelah. Posisi ini dirasa tepat untuk bersiaga dari ancaman apa pun.
Festival Lembah Baliem
Festival Budaya ini selalu dinantikan oleh wisatawan dari berbagai negara. Terbukti sudah diadakan lebih dari 30 kali. Banyak komunitas fotografi datang.
Bagi mereka festival ini adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Biasanya, orang-orang suku Dani menjadi incaran, dengan berbagai gaya yang klasik dan natural.
Kegiatan ini sebenarnya adalah tradisi perang antar suku Dani, Yali, dan Lani. Berlangsung turun-temurun, menghadirkan pula tari-tarian khas yang menarik untuk dilihat.
Seperti sebuah pertunjukan Drama yang dimainkan oleh penduduk Suku Asli Papua. Latar belakang terjadinya perang pun cukup unik. Ada karena penculikan warga, pembunuhan anak, penyerbuan ladang dan masih banyak lagi.
Festival Lembah Baliem Anda bisa melihat teknik perang Suku Dani yang tidak mementingkan rasa ingin membunuh.
Tetapi, lebih mengedepankan kompetensi, senjata yang digunakan juga beragam. Ada busur panah yang panjangnya sampai 4,5 meter.
Untuk acara puncaknya, Anda bisa menikmati pesta daging Babi yang dimasak didalam tanah. Selain menjual kesenian tradisi mengenai peperangan.
Festival ini juga menjual berbagai macam souvenir yang bisa dibeli dan dijadikan oleh-oleh. Tidak hanya itu, Anda juga bisa berinteraksi langsung dengan mereka.
Perjalanan Panjang Menuju Lembah Baliem
Satu alasan mengapa kawasan ini menjadi surga destinasi di Indonesia. Untuk bisa menempuhnya membutuhkan biaya yang mahal.
Tetapi, keindahan alamnya tidak akan menipu perjuangan yang sudah Anda lakukan. Perjalanan udara menjadi rekomendasi untuk Anda pergi ke tempat ini.
Menuju Lembah Baliem Bila berangkat dari Jakarta, Anda akan transit di Makassar. Lalu, melakukan penerbangan menuju Bandara Sentani, hingga akhirnya sampai di Bandara Wamena.
Perlu waktu kurang lebih 13 jam sampai 16 jam dan harga tiket kurang lebih 3 jutaan untuk bisa sampai disana.
Perjalanan belum usai masih membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam sampai 5 jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.
Dengan jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Oleh karena itu, sebelum melanjutkan perjalanan tidak ada salahnya menginap lebih dahulu di penginapan dekat bandara, mulai dari Rp400.000,- sampai Rp1.000.000,-.
Pesona Wisata di Lembah Baliem
Selain melihat festival dan berkunjung ke Suku Dani. Berada di pegunungan Jayawijaya, membuatnya mempunyai banyak tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Tidak heran bila lembah Baliem ini disebut sebagai surganya tanah Papua.
Berikut beberapa rekomendasi yang bisa Anda jadikan pilihan
Telaga Biru Maima
Pesona pertama bisa Anda saksikan adalah Telaga Biru Maima. Warna airnya biru toska dan tersembunyi di balik tebing hijau tinggi.
Dari Distrik Maima membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam lama, berjalan kaki. Medan yang harus dilalui terjal dan sulit. Beberapa berupa tanah licin serta tanjakan.
Perjalanan masih terus berlanjut dengan melintasi air sungai dengan aliran sangat deras. Disini, sudah ada batang pohon dengan panjang 3 meter yang dijadikan pijakan untuk melewati sungai ini.
Tetapi, sampai disana, Anda akan dimanjakan dengan penampakan telaga cantik warna biru akibat dari gradasi pohon.
Sayangnya, Anda tidak diperkenankan untuk berenang ke dalam Telaga. Karena, kawasan ini masih suci. Takutnya, mengotori kesucian yang selama ini sudah terjaga ratusan taun lamanya.
Keindahannya, semakin terasa dikala siang. Di mana sinar matahari yang terang membuat keindahannya semakin terpancar.
Tempat terakhir adalah Air Terjun Napua. Menuju lokasi Anda harus berjalan melewati ladang jagung. Tanah yang berlumpur, tanjakan naik turun.
Butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk bisa sampai disana. Tidak jauh dari air terjun, ada Honai yang berfungsi sebagai tempat istirahat wisatawan.
Memiliki ketinggian 7 meter. Debit airnya lumayan deras dan tidak akan mengering walau berada di musim kemarau.
Di bawah aliran airnya ada sebuah kolam yang bisa digunakan untuk berendam dan berenang. Pemandangan sekitar lebih didominasi pepohonan hijau dan tebing lumut.
Kawasan ini memang menjadi pusat kebudayaan dan pariwisata di Papua. Banyak wisatawan mancanegara sudah sering datang dan menyaksikan suguhan alam kelas dunia ini.
Walaupun, sulit dan membutuhkan biaya besar. Namun, pengalaman tidak akan terlupakan jika Anda berkunjung di Lembah Baliem ini. (*)