Rotasiasia.com – Kenaikan harga bahan pokok dan juga potensi krisis pangan terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Hal ini menjadi masalah ekonomi yang lagi hangat dan jadi topik paling banyak dibicarakan beberapa bulan terakhir. Apa saja faktor dan alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal?
Seperti yang kita sadari bersama bahwa sepanjang tahun 2002 ini harga kebutuhan bahan pokok banyak mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Seperti harga cabai merah, yang naik dari harga rata-rata Rp41 ribuan perkilogram di awal Januari sampai ke angka Rp150 ribuan perkilogram di beberapa daerah.
Kemudian minyak goreng juga sempat mengalami kenaikan harga dari Rp 30 ribuan per 2 liter di bulan Januari, melonjak menjadi Rp 50 ribuan di bulan Juni. Ada juga harga bawang merah yang naik dua kali lipat di bulan Juli. Dan yang bahkan sempat viral, harga mie instan juga berpotensi naik.
Alasan Harga Bahan Pokok Menjadi Lebih Mahal
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, harga pangan global berpotensi terus naik 20% sampai akhir tahun 2022. Kenaikan harga bahan-bahan pokok yang terjadi di Indonesia ini tercermin dari tingkat inflasi year on year Indonesia di bulan Juli kemarin yang mencapai 4,94%. Dan ternyata alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal ini tak cuma terjadi Indonesia saja, tapi juga terjadi di banyak negara lain.
Misalnya di Australia yang sedang mengalami krisis minyak nabati gara-gara suplai bahan bakar minyak terhambat di berbagai negara. India juga menghadapi kelangkaan minyak goreng dan gandum yang membuat harga pangan naik dan mengalami inflasi sampai 7,01% Juni 2022.
Di Malaysia juga sempat terjadi krisis ayam dan telur gara-gara musim kemarau panjang yang membuat ayam kurang makan dan lebih banyak minum, peternakan yang kurang tenaga kerja akibat aturan sertifikasi buat pekerja asing, sampai faktor infeksi penyakit.
Faktor yang Membuat Harga Bahan Pokok Menjadi Lebih Mahal
Apa saja faktor alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal dan cenderung mengalami kenaikan? Apakah ada kaitannya dengan para produsen dan supplier nakal yang kompak menaikkan semua harga? Sebenarnya kenaikan harga setiap komoditas itu punya ceritanya sendiri.
Berikut beberapa alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal dan apakah mungkin fenomena kenaikan harga ini bisa semakin parah dan jadi krisis pangan:
Faktor Pertama:
Faktor pertama yang menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal yaitu kenaikan permintaan dan keterbatasan barang.
Jika membicarakan tentang kebutuhan pokok, umumnya sisi demand atau permintaan konsumen cenderung stabil alias segitu-gitu saja. Kalaupun naik, biasanya berjalan secara gradual dan lambat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Tapi ternyata asumsi ini terpatahkan dalam beberapa bulan akhir-akhir ini, seperti dimana permintaan konsumsi minyak kelapa sawit dari India, Cina dan negara-negara lain meningkat drastis karena pemulihan okonomi setelah pandemi.

Dengan jumlah penduduk mencapai milyaran seperti China dan India, contohnya, yang warganya tiba-tiba ramai berdagang lagi karena pandemi covid sudah terkendali dan orang-orang mulai beraktivitas di luar rumah. Namun masalahnya, ketersediaan minyak nabati terhambat karena konflik di Ukraina. Jadi banyak yang beralih ke komoditas minyak sawit.
Sayangnya, disaat yang sama justru negara produsen sawit terbesar seperti Indonesia dan Malaysia mengalami hambatan produksi sawit. Salah satu faktornya adalah karena gangguan cuaca dan juga musim panen yang belum tiba yang membuat produksi sawit masih sangat minim.
Selain itu, pembatasan ekspor CPO dari pemerintah Indonesia sempat membuat pengiriman minyak sawit dan stok minyak sawit banyak tertahan di tangki-tangki pabrik sehingga menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal.
Sementara dari sisi logistik, pandemi yang berjalan dua tahun terakhir juga sempet mengurangi aktivitas perkapalan dan jatah pengiriman logistik berkurang jauh.
Banyaknya permintaan di seluruh dunia, hasil panen yang kurang maksimal, juga faktor keterbatasan logistik dan distribusi ini membuat minyak goreng sempat langka dan membuat harga minyak goreng kemasan sempat naik sekitar 30% sepanjang Tahun 2022.
Bahkan masalah minyak goreng ini bukan cuma dari faktor cuaca saja, tapi juga dari bahan baku pertanian seperti pupuk. Misalnya petani kelapa sawit yang masih swadaya harus beli pupuk dengan harga lebih mahal karena per Juli 2022 perkebunan sawit dihapus dari daftar penerima pupuk bersubsidi.
Dari yang awalnya petani ini bisa membeli pupuk seharga Rp270 ribu perkarung sekarang harga pupuk mencapai Rp980 ribuan bahkan ada juga yang menyentuh Rp1 juta perkarung.
Ironisnya lagi, harga jual tandan buah segar kelapa sawit atau TBS justru anjlok 58-65 persen dimana-mana gara-gara pabrik kelapa sawit membatasi pembelian karena pasokan mereka masih menumpuk di tangki.
Akibatnya per Juli 2022, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencatat petani swadaya ngalamin kerugian sebesar 802 rupiah per kilo. Mahalnya harga pupuk dan jatuhnya harga sawit membuat produksi kelapa sawit rakyat diperkirakan akan turun sebesar 50% di tahun 2023 nanti. Jika ini terjadi, di Indonesia dan dunia bisa berpotensi mengalami krisis minyak goreng yang lebih parah tahun depan.
Faktor Kedua:
Faktor kedua yang menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal yaitu konflik Rusia dan Ukraina.
Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan semata-mata tentang perang antar dua negara saja, tapi juga membuat suplai bahan pangan di seluruh dunia terganggu. Penyebabnya, karena Ukraina dan Rusia ini adalah produsen 30% suplai gandum dunia.
Sekedar informasi, gandum adalah bahan dasar dari roti, mie instan dan hampir semua makanan ringan ada di supermarket seperti biskuit, crackers, chiki dan lain-lain.

Menurut data dari Kementerian Pertanian (Kementan), di tahun 2021 Ukraina menjadi negara pemasok gandum terbesar kedua setelah Australia dan Indonesia, dengan total impor mencapai 6,15 juta ton atau setara hampir 27 persen pasokan gandum Indonesia.
Tapi sejak konflik Ukraina dan Rusia, ekspor gandum Ukraina sempat tertahan di pelabuhan gara-gara kena blokade. Dan dampaknya negara pengimpor terancam kekurangan gandum jika misalnya tidak bisa mencari alternatif sumber impor yang lain. Apalagi gandum sudah menjadi komoditas vital bagi berbagai produk makanan yang sering dimakan sehari-hari.