Penyebab Harga Barang Naik – Belakangan ini harga barang naik terus, baik kebutuhan barang maupun kebutuhan pokok. Banyak juga jenis barang-barang lain yang turut mengalami kenaikan harga.
Mulai dari minyak goreng kemasan 2 liter yang beberapa waktu lalu naik dari Rp30 ribuan sampai jadi Rp50 ribuan.
Kemudian ada juga harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax yang naik beberapa bulan lalu dari harga Rp9 ribuan menjadi Rp12.500an.
Lalu disusul lagi dengan kenaikan harga Pertamax Turbo, Dexlite dan juga Pertamax Dex di tiga Agustus kemarin.
Selain harga barang naik seperti di atas, tarif dasar listrik rumah tangga berdaya 3500 va ke atas juga mengalami kenaikan.
Dari sisi barang konsumsi juga terjadi kenaikan drastis, seperti harga cabai dan juga produk-produk kedelai.
Harga cabai sebelum pandemi berkisar di angka Rp30 ribuan per kilogram (kg), kini di beberapa daerah di Indonesia bahkan ada yang menembus Rp200 ribuan per kg.
Belum lagi kenaikan harga-harga komoditas lain yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama, seperti tahu, tempe, dan juga kecap.
Ada juga kenaikan harga daging ayam, daging sapi, telur sampai bumbu dapur. Bahkan harga mie instan yang jadi ‘penyelamat’ di akhir bulan juga ikutan naik.
Ini Alasan Kenapa Indonesia Masih Impor Beras Padahal Tanahnya Sangat Subur
Penyebab Harga Barang Naik
Harga barang-barang yang mengalami kenaikan bukan hanya menyasar urusan dapur rumah tangga saja, tapi juga merupakan bahan baku industri yang ujung-ujungnya dapat mempengaruhi ke kenaikan harga produk jadi ataupun produk turunannya.
Dalam dunia ekonomi, fenomena kenaikan harga ini disebut inflasi. Dan berdasarkan data dari bulan Juli lalu, tingkat inflasi tahun 2022 di Indonesia sudah mencapai 4,95 persen, lebih tinggi jika dibandingkan inflasi tahunan di Juni 2022 yaitu 4,35% persen.
Angka 4,95 persen itu menunjukkan bahwa kenaikan harga barang-barang di Indonesia tergolong cukup tinggi dan melampaui target inflasi dari Bank Indonesia.
Dimana umumnya inflasi Indonesia pada tahun-tahun yang lalu ada di angka 3% saja. Sementara target inflasi dari Bank Indonesia di tahun 2022 ini adalah maksimal 3 persen.
Ternyata fenomena tingginya tingkat inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa ini tak hanya terjadi di Indonesia saja. Banyak negara lain di dunia bahkan mengalami inflasi tajam sepanjang tahun 2022 Ini.
Di bulan Juni yang lalu tercatat inflasi di Amerika Serikat mencapai 9,1 persen, India 7 persen, Singapura 5,6 persen dan Inggris yang tembus 9,4 persen dan menjadi rekor inflasi tertinggi Inggris dalam 40 tahun terakhir.
Apa Penyebab Harga Barang Naik Terus?
Jika ditelusuri lebih mendalam, sebetulnya setiap komoditas punya ceritanya sendiri mengapa harganya bisa naik. Misalnya harga BBM, naik karena pasokan supply yang terbatas akibat konflik Rusia dan Ukraina.
Sementara permintaan BBM meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Akibatnya harga minyak dunia naik sampai diatas US 100 dollar per barel.
Sedangkan untuk kenaikan harga cabai, pemicunya adalah krisis pasokan yang terjadi karena berkurangnya jumlah petani cabai dan juga perubahan kondisi tanah yang makin tak kondusif buat tanaman cabai.
Sementara permintaan cabai cenderung meningkat karena industri kuliner mulai bangkit lagi setelah pandemi mulai reda.
Untuk kenaikan harga daging sapi, penyebabnya adalah karena adanya wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang membuat pasokan daging sapi menjadi berkurang. Sedangkan permintaan daging sapi malah meningkat drastis apalagi di saat Idul Adha bulan lalu.
Sampai di sini bisa dilihat kalau kenaikan harga semua komoditas memang punya ceritanya sendiri.
Tapi kalau disederhanakan, sebagai penyebab dari kenaikan harga umumnya dipicu oleh pasokan barang yang terganggu karena faktor tertentu.
Entah itu karena faktor politik, iklim ataupun wabah. Sementara permintaan terhadap komoditas itu tetap sama atau bahkan meningkat setelah pandemi mulai terkendali.
Cara Menyikapi Harga Barang Naik
Tak ada yang mungkin bisa mengendalikan harga atau tingkat inflasi, satu-satunya cara adalah dengan fokus mengendalikan tindakan dan bersiap untuk menyambut gejolak ekonomi.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah dengan mencari tahu apa saja dampak yang bakal terjadi ketika banyak negara mengalami inflasi secara serentak seperti belakangan ini terjadi.
Dengan mengetahui dampaknya, keputusan yang lebih tepat untuk merespon fenomena ekonomi ini bisa diambil.
Penjabaran Penyebab Harga Barang Naik
Penjabaran secara umum tentang apa aja kondisi ekonomi yang bakal terjadi setelah mengalami inflasi tinggi seperti sekarang ini.
Bank Sentral negara seperti The Fed di Amerika, Bank Indonesia dan yang lain umumnya mencoba meredam inflasi yang tinggi dengan cara menaikkan tingkat suku bunga.
Karena tingkat suku bunganya naik umumnya membuat pengusaha menjadi lebih berfikir lagi untuk meminjam kredit ke bank karena bunganya sedang tinggi.
Tapi disisi lain masyarakat ataupun institusi jadi lebih diuntungkan kalau menyimpan uangnya di aset berharga yang imbalannya mengikuti tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Konsekuensi lainnya, kenaikan suku bunga bank Amerika biasanya membuat nilai dolar menguat terhadap mata uang lain termasuk Rupiah.
Beberapa waktu lalu bisa dilihat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar sempat melemah sampai tembus di angka Rp15 ribu.
Dengan begini, yang harus dilakukan adalah memfokuskan pada hal yang bisa dikendalikan dalam menghadapi ketidakpastian inflasi tinggi dan melemahnya daya beli rupiah yang sama dan mengatur keuangan serta mengurangi pengeluaran konsumtif dan tersier.
Ketika inflasi tinggi artinya harga barang dan jasa sedang naik. Walaupun harga barang dan jasa lagi naik, pendapatan mungkin tidak ikutan naik. Jadi hal yang paling bisa dilakukan adalah dengan mengendalikan pengeluaran, menekan kebutuhan yang tak penting dan mendesak.
Masa Depan NFT, Baca Ini Sebelum Terjun ke Industri Non Fungible Token
Di sisi lain, mengingat adanya potensi kenaikan suku bunga bank Indonesia, cicilan KPR yang menggunakan sistem floating rate juga kemungkinan bakal mengalami kenaikkan mengikuti suku bunga yang baru.
Jadi, bagi siapa yang sedang berencana melakukan kredit kendaraan maupun KPR, siapkan dana lebih untuk antisipasi kenaikan cicilan. Dan jika belum memulai, usahakan mendapatkan label kredit dengan bunga fix atau tetap agar tidak terpengaruh kalau ada kenaikan suku bunga.
Tips selanjutnya, jangan simpan uang di tabungan dalam bentuk cash. Suku bunga tabungan bank itu rata-rata di bawah satu persen pertahun.
Coba bayangkan, inflasi tahunan per Juli 2022 itu tembus 4,95 persen, sementara bunga yang didapat kurang dari satu persen pertahun untuk uang yang disimpan di tabungan bank.
Artinya, secara nominal uang di tabungan bertumbuh kurang dari satu persen, tapi daya beli uang tersebut malah menurun.
Maka dari itu, dalam kondisi seperti sekarang ini lebih baik menyimpan uang di instrumen investasi yang bisa memberi imbal hasil yang return-nya tinggi atau kalau bisa lebih tinggi dari inflasi.
Atau bisa juga simpan uang di Reksadana Pasar Uang (RDPU) dan juga Reksadana Pendapatan Tetap (RDPT).
Reksadana Pasar Uang atau RDPU itu adalah produk investasi yang sebagian besar dananya dialokasikan ke aset investasi beresiko rendah yang tergolong aman, bisa itu ke surat utang jangka pendek dan juga deposito bank.
Kalau RDPU menyimpan uangnya di deposito, kenapa masyarakat tak langsung simpan uangnya di deposito bank saja? Kan sama aja dong?
Jadi begini, biasanya bank konvensional sampai BPD itu memberi rate khusus kepada investor yang setor dananya dalam jumlah besar.
Makanya walaupun RDPU itu alokasikan dananya ke deposito, tapi RDPU bisa memberi imbal hasil yang lebih tinggi, daripada langsung simpan uang.
Selain itu, dana di RDPU juga bisa dicairkan kapan saja, berbeda dengan deposito yang umumnya terikat waktu penyimpanan.
Sedangkan RDPT, adalah produk investasi yang sebagian besar dananya dialokasikan ke instrumen Surat Utang, entah itu surat utang negara atau surat utang perusahaan. (*)