Oleh : Daulat Sihombing SH MH (Advokat/ Ketua Sumut Watch)
Topsumutpress.com – Di Indonesia, hoax sebenarnya baru menggejala sejak Pilpres 2014 antara Pasangan Jokowi Widodo/Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto/Hatta Rajasa, kemudian hoax semakin massif dieksploitasi pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 antara Pasangan Basuki Cahaya Purnama/Djarot Saiful Hidayat dengan Anies Baswedan/Sandiago Uno.
Hoax di sini, benar- benar telah dijadikan sebagai alat “black campaign” atau kampanye hitam untuk menaikkan reputasi atau posisi tawar atau elektabilitas kandidat di satu sisi dan merusak atau mendegradasi citra “lawan” di pihak lain.
Dalam pertarungan Pilpres 2014, hoax sebenarnya masih dalam batas- batas profile tokoh secara personal atau wilayah pribadi atau sebutlah pembunuhan karakter. Namun dalam pertarungan Pilgub DKI 2017, selain pembunuhan karakter, hoax telah dieksploitasi untuk “membunuh” lawan dan menghancurkan harmonisasi sosial.
Hoax telah dimanfaatkan untuk mengeksploitasi sentimen suku, agama, ras dan antargolongan, sehingga sempat menimbulkan disharmonisasi sosial dan destabilitas politik terhadap kepemimpinan nasional.
Fenomena Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017, sepertinya menjadi “sarang” besar dari marak dan meluasnya hoax di negeri ini, yang bagaikan penyakit endemi kemudian menjamur ke beberapa wilayah propinsi, kabupaten dan kota-kota di Indonesia, tak terkecuali Kota Pematangsiantar. Ingat, warga Pematangsiantar pernah heboh dengan isu bom gereja, penculikan anak untuk “bisnis” mutilasi organ tubuh.
Dalam ruang politik, hoax ternyata tak lagi sekedar peristiwa sporadis. Tapi telah berkembang menjadi order by design yang diorganisir oleh kelompok-kelompok (politik) tertentu untuk merongrong wibawa pemerintahan atau negara.
Menghancurkan kredibilitas kepemimpinan nasional, merusak sistem demokrasi dan merebut kekuasaan bahkan hendak mengganti ideologi negara, Pancasila.
Data Direktorat Tindak Pidana Khusus Siber Bareskrim Polri, 300 akun penyebar hoax terdeteksi Tim Patroli Siber Polri setiap bulan (Liputan.com, 2018).
Diantaranya akun penyebar hoax itu, tersebut group Muslim Cyber Army (MCA), Moeslim Defeat Army, Kelompok Snipper dan MCA United.
Akun-akun kelompk ini memproduksi berbagai berita hoax, diantaranya isu penculikan ulama/guru ngaji/muadzin, penghinaan tokoh agama/masyarakat, penghinaan terhadap penguasa/badan umum dan ujaran kebencian/SARA.
Dalam Pilpres 2019 mendatang, diperkirakan hoax masih merupakan ancaman serius dalam panggung perpolitikan nasional. Peringatan ini tentu saja menjadi penting agar semua kita tidak bermain-main dengan hoax.
Bercanda dengan Jeruji Besi
Mungkin saja ketika kita memiliki gadget, handphone atau tablet yang canggih, sama sekali tak terpikir tentang resiko.
Begitu halnya ketika mengoperasikan facebook atau whatsapp atau twitter atau aplikasi lain dalam gadget atau android atau internet, kita juga tak terbeban dengan masalah.
Tapi dibalik media informasi dan elektronik yang ramah dan sangat menakjubkan, ada banyak ancaman menakutkan yang sewaktu-waktu siap memangsa tuan.
Awas, hoax adalah jin era digital yang siap mengintai tuan. Membuat, mendistribusikan (membagikan) atau mentransmisikan (mengirimkan) atau menyiarkan (memperdengarkan) atau membuat dapat diakses sesuatu pesan atau pemberitahuan atau berita atau informasi atau gambar atau video, yang mengandung kebohongan atau penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang atau institusi yang tergolong HOAX, maka “sesungguhnya” kita sedang bercanda dengan jeruji besi, sel tahanan, penjara hingga persekusi.
UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana secara tegas melarang tentang HOAX. Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946, mengatur bahwa : “Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitaan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihuum dengan hukuman penjara setinggi- tingginya sepuluh tahun”.
Kemudian ayat (2) mengatur bahwa : “Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi- tingginya tiga tahun”.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, secara tegas juga melarang tentang HOAX. Pasal 45 ayat (3), menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menditribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00”.
Siasat Menangkal Hoax
Pelajaran terpenting dari sejumlah kasus hukum tentang HOAX, bahwa setiap pengguna media sosial elektronik haruslah paham dan mengerti bahwa dibalik gadget atau handphone atau tablet yang ramah dan unik, didalam gadget, handphone atau tablet kecil yang menyimpan bola “raksasa bumi”, tetapi juga mengandung sejumlah ancaman yang sewaktu-waktu mencelakakan tuan. Gadget, android atau tablet yang keren dan cantik, bisa jadi mengingatkan kita tentang dongeng rakyat “jin raksasa yang keluar dari sebuah botol kecil”.
Maka agar tidak terjebak dalam hoax, tuan pengguna media elektronik wajib mengakrabkan diri dengan literasi cerdas bermedia sosial.
“Hati-hati dengan judul provokatif, cermat dengan alamat situs, periksa fakta, cek keaslian foto, ikut grup diskusi anti hoax”, begitu siasat dari Fanpage Indonesian Hoaxes.
Sedangkan The Washington Post, memberikan nasehat, “jangan hanya membaca judul, periksa sumber berita, lakukan konfirmasi dan ukur legitimasi konten”.
Akhirnya, hati-hati dengan jemari tuan, hati-hati dengan jempol tuan, cegah hoax dan jadilah pelopor anti hoax. Mencegah hoax berarti mencegah langkah tuan ke terali besi, tahanan atau penjara. (*)
(Pengantar Reflektif ini dibawakan Daulat Sihombing sebagai narasumber pada Diskusi dan Dialog Publik ‘Menangkal Hoax’ yang diselenggarakan oleh Pemko Pematangsiantar, tanggal 25 Oktober 2018 di Restoran Siantar Hotel).