Faktor Ketiga:
Faktor ketiga yang menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal yaitu alam.
Faktor alam ini cukup sering menjadi penyebab gagal panen dan krisis pangan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Biasanya alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal karena kondisi cuaca dan iklim atau serangan hama.
Beberapa bulan terakhir ini petani cabai dan bawang dan tanaman yang lainnya mengalami gagal panen gara-gara curah hujan yang masih tinggi merendam sawah mereka. Curah hujan yang tinggi ini juga membuat tanaman-tanaman hortikultura rawan terkena virus, jamur dan juga serangan hama.
Diperkirakan faktor alam ini membuat produksi cabai dan bawang di beberapa daerah turun sampai 31%. Karena hal ini akhirnya membuat 70% petani cabai dan bawang beralih ke tanaman yang tahan curah hujan tinggi, contohnya padi.
Ditambah lagi kualitas tanah pertanian hortikultura yang juga turun drastis akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Saat ini rata-rata panen petani cuma empat kali saja dalam setahun, padahal sebelumnya bisa sampai 10 kali dalam setahun.
Kemudian penyemprotan pupuk juga harus dilakukan dengan lebih intens. Pasalnya tanah yang kekurangan nutrisi inilah yang membuat ongkos pupuk jadi naik. Akhirnya pasokan cabai dan bawang bahkan terancam terhambat gara-gara produksi yang makin turun.
Akibatnya di sejumlah kota harga bawang sempat naik di angka Rp70 ribuan perkilo, padahal harga normalnya di sekitar Rp30-40 ribuan perkilogram. Sedangkan harga cabai sempat naik dikisaran Rp80-90 ribuan per kilo, bahkan sempat menembus Rp150 perkilo.
Lalu, untuk menghindari alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal mengapa tidak impor saja?
Impor cabai dan bawang dari negara lain, selain ada masalah biaya pengiriman tentu hal itu bahkan akan mengorbankan kesejahteraan para petani cabai dan bawang di dalam negeri.
Faktor Keempat:
Faktor keempat yang menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal yaitu merebaknya wabah penyakit ternak sepanjang Mei sampai Juli 2022.
Krisis pangan tak hanya mengancam tanaman pangan saja, tapi juga dari sektor peternakan. Seperti merebaknya wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK menjangkit hewan-hewan ternak di Indonesia. Berdasarkan berita terakhir, wabah ternak sudah menyerang di 223 kota yang tersebar di 20 provinsi yang ada di Indonesia. Dan per Juli 2022, ada lebih dari 300 ribuan ternak yang terkena penyakit ini.
Wabah PMK ini membuat banyak peternak merugi karena sapinya tak bisa dijual. Apalagi mereka juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengobati, memvaksin dan juga mengkarantina sapi-sapi yang terjangkit virus ini.
Bahkan jika pun sapi mereka sembuh, masih berpotensi jadi carrier yang menularkan penyakit ke sapi lainnya. Pasalnya sapi tersebut masih membawa virus dalam tubuh mereka. Maka tak jarang ada juga peternak yang terpaksa memusnahkan daging dan juga sapi mereka yang sudah terinfeksi penyakit ini.
Gara-gara wabah ini pasokan daging sapi di berbagai wilayah menjadi terhambat. Pedagang daging sapi di beberapa daerah mengalami kekurangan persediaan daging untuk dijual hingga harus keliling mencari ternak warga lokal yang hendak mereka jual.
Dengan bertambahnya biaya peternak untuk memastikan sapinya sehat, ditambah lagi meningkatnya permintaan sapi karena momen Idul Adha beberapa bulan lalu, hasilnya harga sapi hidup mengalami kenaikan sekitar 25-40%. Bahkan di beberapa wilayah, harga daging sapi sempat menyentuh Rp170 ribu perkilogramnya.
Faktor Kelima:
Faktor kelima yang menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal yaitu naiknya harga biaya produksi.
Beberapa bulan terakhir di beberapa daerah, kenaikan harga telur ayam menembus Rp30 ribu per kilo. Padahal harga sebelumnya di kisaran Rp22-25 ribuan saja per kilo. Hal ini disebabkan oleh melonjaknya harga pakan ayam dan memberatkan harga produksi dari para peternak ayam.
Harga pakan yang awalnya di kisaran Rp415 ribu menjadi hampir Rp500 ribu per kantong. Memang terkesan tak terlalu besar, namun pakan ayam itu menjadi biaya terbesar yang dikeluarkan para peternak ayam karena menjadi hal rutin yang dikeluarkan setiap hari untuk menjaga ayam-ayamnya tetap hidup dan sehat.
Kenaikan harga pakan ini membuat banyak peternak menjadi kewalahan, bahkan ada yang sampai harus mengurangi populasi ayamnya atau terpaksa menutup usaha peternakannya. Akibatnya, kenaikan harga telur dan daging ayam melonjak naik.
Beberapa kejadian ini sering terjadi bahkan hampir tiap tahun dan bisa normal lagi setelah beberapa saat. Tapi jika misalnya semua itu terjadi sekaligus dan ditambah lagi dengan kondisi ekonomi global yang belum jelas, tentu berpotensi mengancam ketersediaan pangan Indonesia.
Menurut data dari World Food Program PBB, saat ini di Indonesia ada 33,8 juta orang atau sekitar 12,6% dari seluruh penduduk yang masih mengalami kekurangan akses makanan. Jika misalnya zaman krisis pangan ini benar kejadian, tak tertutup kemungkinan angka ini bisa bertambah.
Itulah beberapa faktor dan menjadi alasan harga bahan pokok menjadi lebih mahal. Semoga artikel ini bisa membantu untuk lebih memahami tentang kondisi ekonomi terkini dan juga menambah pengetahuan khususnya tentang rantai sebab-akibat dalam dunia ekonomi dan perdagangan. (*)