Masalah keempat kenapa Indonesia masih impor beras padahal tanahnya sangat subur adalah para petani juga seringkali terjerat hutang dan para tengkulak inilah yang berani meminjamkan uang ke petani untuk memulai proses pertanian. Jadi petani wajib menjual hasil panennya ke tengkulak tersebut dipotong bunga pinjaman modal.
Ironisnya, di satu sisi tengkulak menjadi pihak yang selalu membantu petani untuk menyerap hasil panen, tapi di sisi lain mereka juga yang mengeksploitasi petani dengan bunga tinggi atau harga jual yang rendah hingga profitnya kecil untuk para petani.
Petani seolah tak punya pilihan lain. Salah satu masalahnya adalah keterbatasan akses permodalan atau pendanaan buat para petani supaya bisa jalan secara mandiri. Pasalnya, para petani tak mudah mendapatkan akses pinjaman kredit atau pinjaman modal usaha dengan jaminan tertentu ke pihak bank. Di sisi lain, masih sedikit sekali bank yang berani menyalurkan kredit ke petani.
Penyebab bank tak berani memberi modal ke petani adalah karena pihak bank juga masih khawatir dengan tingkat potensi kegagalan panen yang ujung-ujungnya bisa membuat kredit macet. Selain itu juga risiko gagal bayar menjadi pertimbangan pihak bank.
Karena memang faktanya memprediksi produksi pertanian itu tak bisa semudah memprediksi produksi manufaktur pabrik. Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan, dari kondisi alam, banjir, kekeringan sampai hama wereng yang selalu jadi momok pertanian dalam negeri.
Selain itu pihak bank juga biasanya butuh aset yang bisa dijadikan jaminan kalau-kalau terjadi gagal bayar, yang mana jaminan aset yang biasa digunakan yaitu berupa sertifikat tanah.
Banyak yang mengira kalau para petani memiliki lahan pertanian yang luas, tetapi pada kenyataannya tidak. Masih banyak sekali petani dalam negeri yang belum memiliki sertifikat tanah. Sehingga mereka tak memiiki apa-apa untuk dijadikan jaminan ke bank.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria 2016, ada 28 juta petani yang statusnya tak memiliki tanah dan kalaupun ada penyaluran kredit untk pertanian, 80% dari kredit cuma terpusat ke perkebunan skala besar saja. Padahal 75% petani dalam negeri adalah petani kecil yang kepemilikan lahannya cuma setengah hektar.
Sebenarnya ada juga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang menawarkan pinjaman ke petani kecil dengan bunga rendah dan tanpa agunan, tapi proses administrasi dan seleksinya sangat ketat.
Karena tentunya bank juga tetap ingin cari aman yang mana pinjaman KUR juga harus menggunakan off-taker atau pihak yang berperan sebagai penjamin kalau-kalau si petani ini gagal bayar.
Sedangkan para petani sendiri tak familiar dengan mekanisme ini dan sedikit yang tahu kalau peminjaman KUR harus lewat off-taker.
Akhirnya mau tidak mau para petani balik lagi bergantung ke para tengkulak atau rentenir yang bisa menyediakan dana dengan cepat.
Dari sini bisa diketahui bagaimana kompleksnya masalah yang umumnya dialami para petani. Mulai dari pemodalan penjualan, aset pasar, bahkan faktor alam juga ikut menambah beban para petani.
Dengan adanya potensi besar tapi sistemnya masih tak efisien sebetulnya ada banyak ruang untuk bisa di ditingkatkan. Sayangnya hingga kini banyak generasi muda di Indonesia ia tidak memilih menekuni bidang pertanian ini.
Berdasarkan catatan pemerintah, 71% petani Indonesia berusia lebih dari 40 tahun dan dari tahun ke tahun makin sedikit tenaga kerja yang turun ke sektor pertanian. Meskipun ada solusi untuk menghadapi masalah ini, pasti dipastikan tak sederhana.
Akar Masalah Kenapa Indonesia Masih Impor Beras Padahal Tanahnya Sangat Subur
Akar masalah kenapa Indonesia masih impor beras padahal tanahnya sangat subur yaitu akses petani ke pusat pemasaran dan juga pemodalan di mana petani bisa dapat moda sekaligus pembinaan dan juga akses supaya mereka bisa langsung jual ke konsumen akhir.
Kemudian peningkatan infrastruktur penghubung antardesa di Indonesia masih belum optimal, baik kondisi jalan antar desa, saluran komunikasi, internet atau aspek keuangan.
Jika infrastruktur jalan dan sarana transportasi antar desa sudah bagus, harapannya bisa memangkas biaya transportasi dan juga ongkos kirim petani yang hendak menjual hasil panennya ke pasar.
Begitu juga dengan kebutuhan produksi petani seperti pupuk dan juga peralatan yang bisa didistribusikan dengan biaya murah, para petani tak perlu lagi terlalu bergantung kepada tengkulak.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memerhatikan sektor pertanian yang potensial secara ekonomi yang permintaannya di pasar dunia banyak tapi malah belum dioptimalkan.
Misalnya bahan dasar coklat alias tanaman kakao. Produk kakao ini diperkirakan punya nilai pasar dunia sebesar 30 miliar dollar AS dengan pertumbuhan per tahun sebesar lima persen sampai tahun 2006.
Pasar yang paling potensial ada di Eropa, soalnya menurut data dari kemenlu Belanda, Eropa adalah importir coklat terbesar di dunia. Sedangkan Indonesia adalah salah satu produsen Kakao terbesar kelima di dunia tapi produksi kakaonya masih belum maksimal karena rata-rata petani punya lahan kurang dari setengah hektar pdahal luas idealnya di atas dua hektare per petani.
Berdasarkan penelitian Rubiyo dan Siswanto, produktivitas petani kakao olahan kecil tak sampai 500 kilo per hektar, sedangkan produktivitas perkebunan besar bisa sampai 730 sampai 740 kilo per hektarnya.
Dari sini bisa dilihat bahwa komoditas ini keuntungannya besar sekali. Berdasarkan berbagai sumber lain, rata-rata margin profit komoditas ini di atas 100% bahkan hampir 200%.
Solusi terakhir mengatasi masalah kenapa Indonesia masih impor beras padahal tanahnya sangat subur adalah tentu saja dengan peningkatan kualitas SDM petaninya.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), cuma 0,3 persen saja petani yang punya pendidikan tinggi di Indonesia, sisanya didominasi pendidikan rendah bahkan tak sekolah. Padahal tiap tahun ada ribuan sarjana di bidang pertanian yang lulus kuliah.
Sayangnya mayoritas kelulusan pendidikan tinggi bidang pertanian justru lebih milih berkarir di sektor lain. Padahal ketika anak muda berpendidikan tinggi mau terjun ke pertanian, mereka terbukti mampu memberdayakan para petani dan mengelolanya sampai untung besar.
Demikianlah penjelasan tentang kenapa Indonesia masih impor beras padahal tanahnya sangat subur. Semoga dapat menginspirasi generasi muda Indonesia supaya bisa ikut serta menyelesaikan masalah pertanian di Indonesia. (*)